Senin, 13 September 2010

Bagaimana Mengarag (Novel)

Terkadang, saya suka gamang saat ditanya mengapa dan bagaimana saya mengarang sebuah cerita. Jujur saja, saya tak punya kiat khusus saat melakukannya. Saya juga terkadang tidak mengerti, mengapa saya bisa mengarang seperti itu. Mengapa tidak seperti ini? Mengapa tidak seperti dia? Pertanyaan-pertanyaan itu kerap mengganggu pikiran saya. Tapi saya mencoba menenggelamkannya hingga dia hanya menjadi pertanyaan di bawah alam sadar tanpa perlu saya berusaha mencari jawabannya.
Tapi untuk menjawab mengapa dan bagaimana saya mengarang rasanya boleh juga untuk dijadikan bahan diskusi. Terutama kepada teman-teman yang pernah bertanya soal itu melalui email saya dan khususnya Mbak Ridha Anwar. Saya beri catatan sedikit, ini adalah sudut pandang saya, yang menatap dunia kepengarangan dari kaca mata saya yang sebelah kanan minus 2,75 dan sebelah kiri minus 2,5 (sudah agak bolor matanya, tapi kalau melihat duit mata itu jadi normal, malah melebihi kenormalan mata yang normal)
Ketika saya mencoba menulis, saya hanya mencari sebuah relung, celah, ceruk yang mungkin tidak digarap orang lain atau dilupakan orang lain. Sebelum memulai, saya ingin ungkapkan sebuah cerita masa kecil.
Bapak saya adalah orang yang membentuk saya membaca. Buku apa saja saya baca, kecuali komik (pada saat saya SD) dan saya dulu tidak tahu mengapa saya dilarang membaca komik yang kemudian saya ketahui, pada saat saya kecil, komik Islam jarang sekali, bahkan mungkin hampir tak pernah ada, bahwa di komik-komik itu ada penggambaran wujud yang jelas dari tokoh-tokohnya. Terutama tokoh-tokoh wanita, yang maaf, terkadang digambar secara visual yang cukup syur. Walaupun sekarang ini, hampir seluruh komik dari Elex Media saya konsumsi dan koleksi.
Saya tak punya pengarang favorit, jadi seluruh buku yang ditulis oleh pengarang mana pun saya membacanya baik itu pengarang yang tidak terkenal maupun yang sudah menjulang setinggi langit. Buku-buku luar pun saya lahap, baik yang sudah terjemahan maupun masih karya aslinya. O ya, koleksi buku saya hingga saat ini sudah hampir mendekati angka 10.000 judul. Saya pikir itu koleksi yang cukup luar biasa, bukan? Ketika Harry Potter belum ada di Indonesia (belum diterjemahkan), saya sudah membacanya dan membelinya di sebuah negara—pada saat itu baru empat judul.
Ketika saya duduk di bangku SMA, saya melihat begitu banyaknya penulis-penulis Indonesia yang bertebaran. Ada sedikit gugahan dihati saya untuk menulis sebuah buku. Tapi buku apa? Hingga tibalah saya pada relung, celah, ceruk yang saya temukan. Hanya ada seorang penulis KEMBANG MANGGIS yang membuat cerita anak dari dunia kepramukaan. Tapi itu bukan bersifat petualangan. Akhirnya saya garap celah itu, saya masuk ke dunia itu. Dan karena pada saat itu dunia petualangan anak serial dengan berbagai titel, Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Komplotan, Petualangan, Empat Petualang (Oleh Ibu Enid Blyton) banyak bertebaran di samping serial lainnya seperti si Badung, si Kembar dan lain-lain oleh ibu EB. Belum lagi pengarang Indonesia yang terutama diterbitkan Gramedia. Dan setelah karangan itu jadi, saya kirimkan ke Gramedia yang hingga saat ini saya masih tidak mengerti, mengapa cerita itu bisa diterbitkan, yang lahir dari seorang anak SMU yang sableng (waktu itu)
Dan sejak SMP pula saya sudah membaca Agatha Chistie dengan Hercule Poirot, Miss Marplle, Tonny and Tuppence yang bukan hanya bikin ngeri saya waktu itu, tapi juga bikin penasaran.
Dari gambaran di atas, saya tetap tidak punya pengarang favorit, karena pada saat itu saya tahu, cerita yang sudah dibukukan pasti bagus, lepas dari kelebihan dan kekurangannya. Saya juga mengoleksi seluruh karangan Asmaraman Kho Ping Ho, Barata, Sri Wedari, SH. Mintarja, Herman Pratikno, Chan, Tobbi dari yang bersetting cina hingga tanah Jawa hingga karya Bastian Tito dengan Wiro Sableng, Roro Centil, dan Bocah Sakti. Pada tahun-tahun belakangan ini, buku pernah tiba pada bomingnya. Hingga daftar bacaan saya sulit sekali untuk saya ingat. Tapi pada dasarnya saya mencintai buku, saya tidak segan membuang uang untuk membeli buku. Sekali waktu, saya pernah membeli buku hingga dua juta rupiah pada sebuah pameran.
Dan sebagai tambahan ilmu, kecuali buku tekhnik, saya membaca buku apa saja. Tak perduli buku itu saya perlukan atau tidak. Tapi saya gunakan sebagai pengetahuan untuk saya sendiri. Karena saya sempat berpikir, saya perlu tahu hal itu, paling tidak, sekali lagi, untuk saya sendiri.
Lalu dari celah-celah itu apa yang bisa saya garap? Saya mempermainkan tokoh-tokoh saya. Saya anggap, saya adalah dewanya mereka, saya adalah sutradara yang bisa dengan enaknya mempermainkan mereka. Dan saya tidak perlu kuatir memikirkan tokoh saya akan sengsara, sedih, menangis atau pun meninggal sekali pun. Mereka hanya tokoh ciptaan saya dan saya tidak punya pakem mau kemana tokoh itu saya bawa (hingga ada beberapa editor buku menjadi bingung, karena saya kok gak kasihan sama tokoh-tokoh saya…. Hahaha, maaf ya, karena mereka adalah ciptaan saya). Saya biarkan saja semuanya mengalir.
Di samping itu, pasti seluruh tokoh saya pemberang, panasan, pemarah tapi baik hati dan selalu banyak ruang gerak. Saya tidak suka bila tokoh saya sempit gerak dalam arti bersifat statis. Lalu sisi mana yang saya ambil?
Celah, celah itu yang saya ambil. Saya mencoba memotret celah yang tidak diambil atau dilupakan pengarang lain (meskipun saya tak memungkiri celah itu juga sudah diambil pengarang lain)
Dan bagaimana saya mengarang? Saya hanya memperlukan sebuah sisi sempit dari gagasan cerita. Misalnya yang sudah diterbitkan Mizan, Syakila. Saya hanya mengambil gagasan cerita, tentang banyaknya bom yang meledak di Jakarta. Lalu tentang perampasan sepeda motor. Hanya itu. Saya tidak ingin membicarakan Ray, karena Ray memang catatan perjalanan saya dulu. Lalu pengembangannya bagaimana? Saya biarkan saja mengalir, dan saya tidak memperlukan plot teratur, saya tidak memerlukan garis besar cerita, saya juga tidak memperlukan catatan mau apa tokoh-tokoh saya setelah itu. Saya hanya ingin, mereka terus bergerak dan bergerak yang terkadang saya tidak tahu, mau dibawa kemana mereka. Karena pada proses penciptaan itu, mereka seperti hidup di hadapan saya dan terkadang saya sulit mengendalikan mereka.
Dan celah itu yang saya garap.
Dari sisi teknis, pertama saya terus menulis hingga cerita berakhir. Kedua, saya mengoreksi dari segi tata bahasa. Ketiga, saya mengeditnya dari segi cerita. Jadi saya tak perduli tata bahasa dan cerita pada awalnya, kemudian saya perbaiki. Lalu adakah cerita yang gagal? Banyak, banyak sekali. Tapi itu saya anggap sebagai peluang untuk meneruskan cerita-cerita saya. Bahkan ada tiga naskah cerita yang nganggur saat ini, karena menurut saya gagal meskipun saya terkadang berpikir, mengapa belum ada yang membaca atau menilai naskah itu sudah saya anggap gagal?
Karena, tak ada nuansa jiwa saya dalam cerita itu! Itu saja jawabnya. Jadi saya biarkan dia mengendap di dasar sungai menjadi batu. Mungkin kelak, saya akan mengangkatnya.
Dan saya tidak ingin tokoh-tokoh yang saya ciptakan itu punya kekurangan secara fisik. Misalnya, gagap, tuli, bisu atau cacat yang hanya dijadikan sebagai bahan kelucuan saja. Kalau pun saya membuat tokoh seperti itu, saya biarkan dia terus bergerak dan bergerak. Lalu dari sisi mana yang saya ambil yang saya jadikan kekuatan cerita saya? Dialog, dialoglah yang saya perkuat dengan lagi-lagi mempermainkan mereka (tapi membebaskan mereka bergerak ke mana saja). Saya terkadang berusaha untuk tidak melakukan dialog tanya jawab. Tapi dialog yang meskipun berkesan tanya jawab, tapi adalah sebuah penggalan-penggalan jawaban secara tidak langsung. Karena di sanalah saya melihat sebuah nuasana lain dari cerita saya.
Satu hal lain yang harus digarisbawahi, saya selalu menyukai atau membuat cerita yang multi plot. Bukan hanya satu atau dua plot saja. Tapi multi karena di sanalah benang merah yang menggereget saya coba tarik menjadi satu kesatuan cerita yang utuh.(*)